Menu

Mode Gelap
Didukung BPDP dan Ditjenbun, PT MTC Gelar Pelatihan SDMPKS ‘Panen & Pasca Panen’ Angkatan 1 di Riau Sebanyak 71 Petani Sawit Adakan Lomba Perpustakaan Desa Program TPBIS, Dispersip Kampar berharap peningkatan Pelayanan Perpustakaan Bupati Kampar Bersama Masyarakat Tanjung Belit Nikmati Tausiah UAS Sambil Muhasabah Pada Puncak Malam Bakti Religi. Pagar Laut Tangerang: Simbol Perebutan Kekuasaan Politik dan Ketegasan Pemerintah yang di Pertanyakan   Air Mata Haru Ahli Waris Terima Santunan Kematian Dari BPJS Ketenagakerjaan, Apresiasi Program Anggota Dewan Bupati Kampar Bersama Kakan Kemenag,Sambut Hangat Kepulangan JH Kampar Kloter 05 BTH Di Batam

Banten

Pagar Laut Tangerang: Simbol Perebutan Kekuasaan Politik dan Ketegasan Pemerintah yang di Pertanyakan  

badge-check


					Pagar Laut Tangerang: Simbol Perebutan Kekuasaan Politik dan Ketegasan Pemerintah yang di Pertanyakan    Perbesar

Peristiwa pagar laut terjadi di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, dimana ditemukan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer yang dibangun tanpa izin resmi (ilegal) sejak Agustus 2024 dan baru disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Januari 2025. Pagar ini diduga menghalangi akses nelayan kecil sehingga mengganggu aktivitas penangkapan ikan mereka. Awal penemuan pagar laut ini bermula dari laporan nelayan pada Agustus 2024, kemudian tim dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten melakukan pengecekan dan menemukan pagar sepanjang sekitar 7 km yang terus bertambah panjang hingga mencapai 30,16 km. Pagar yang terbuat dari bambu setinggi enam meter ini tidak memiliki izin dan dianggap ilegal oleh pemerintah, sehingga KKP memerintahkan pembongkaran pagar tersebut dengan batas waktu 20 hari, jika tidak akan dilakukan pembongkaran secara paksa.

Pemerintah, termasuk TNI Angkatan Laut bersama nelayan setempat, mulai membongkar pagar laut tersebut pada 18 Januari 2025 dan berlangsung hingga 13 Februari 2025. Proses pembongkaran terbagi di tiga titik utama yaitu Tanjung Pasir, Kronjo dan Mauk. Pembongkaran dilakukan karena pagar tersebut merugikan nelayan dan mengganggu ekosistem perairan. KKP juga melanjutkan investigasi untuk mengungkap motif dan pihak yang bertanggung jawab di balik pembangunan pagar laut ini. Selain itu, terungkap bahwa wilayah pagar laut tersebut ternyata memiliki status sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama beberapa perusahaan dan perorangan, yang menimbulkan dugaan bahwa pagar ini terkait dengan konflik penggunaan lahan pesisir dan kemungkinan reklamasi untuk kepentingan property.

Tindakan hukum terkait Pagar Laut Tangerang mencerminkan ketegangan antara penegakan regulasi dan tarik-menarik kepentingan politik lokal. Meski pemerintah daerah menyatakan bahwa pagar laut dibangun untuk alasan keamanan dan pengelolaan wilayah pesisir, banyak pihak menilai bahwa struktur tersebut lebih mencerminkan simbol kekuasaan yang diperebutkan oleh elit politik setempat. Proses hukum terhadap keberadaan pagar itu sendiri pun dinilai lamban dan tidak transparan, dengan minimnya penegakan terhadap potensi pelanggaran tata ruang, hak akses publik terhadap pantai, serta dugaan pelanggaran izin pembangunan. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai ketegasan pemerintah dalam menindak pelanggaran yang diduga sarat kepentingan politik, serta sejauh mana hukum benar-benar mampu berdiri netral dalam konflik yang melibatkan kekuasaan dan kepentingan ekonomi lokal.

Proyek pembangunan seperti “pagar laut” kerap menjadi ajang perebutan kekuasaan politik, di mana elite politik bersaing untuk menguasai proyek strategis demi kepentingan kelompok tertentu, bukan kepentingan publik. Penunjukan pelaksana proyek yang tidak transparan, karena kedekatan politik, memicu dugaan korupsi. Ketidaktegasan pemerintah dalam menindak pelanggaran juga membuka peluang penyimpangan, seperti pembengkakan anggaran, proses lelang yang tidak adil, serta pelanggaran aturan lingkungan dan tata ruang. Selain itu, proyek infrastruktur di wilayah pesisir cenderung sulit diawasi, memerlukan biaya besar, melibatkan banyak pihak, dan rawan manipulasi dokumen serta anggaran, terutama jika ada indikasi keterlibatan elite politik lokal dalam proses pengadaan.

Aktivis Nelayan, Rusdianto Samawa meminta kasus pagar laut ini segera dituntaskan dan harus serius dilakukan pendalaman. Ia mengatakan, pagar laut ini telah berdampak pada penurunan penghasilan nelayan karena pengaruhi jalur layar tradisional nelayan. Ia menyebut, sekitar 3.888 nelayan terdampak, dengan kerugian ekonomi sekitar 201 miliar, tetapi menurut pemerintah kerugian sebesar 24 miliar terhitung sejak Agustus 2024-Januari 2025. “Karena itu, jalur layar nelayan, maka jauh memutar untuk kegiatan pendaratan ikan hasil tangkapan. Selain itu, nelayan juga harus berhati-hati melewati pagar laut untuk hindari kerusakan kapal dan biaya operasional yang membengkak,” katanya kepada KBA News, Rabu, 28 Mei 2025.

Ia mengatakan, pagar laut juga merusak ekosistem laut dengan memicu modifikasi alur air laut dan merubah struktur ekosistem, termasuk sedimen, gangguan biota laut, kerusakan habitat, dan pembatasan akses nelayan.“Kondisi ini merupakan bukti buruknya kebijakan sektor pembangunan kelautan perikanan dalam pengelolaan ruang pesisir laut,” jelas Ketua Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI) tersebut. Namun permasalahan ini tentunya memiliki berbagai tanggapan dari Masyarakat meskipun menurut Sebagian Masyarakat kasus pagar laut ini merugikan Salah satu kelompok nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura menilai opini pembangunan pagar laut yang saat ini ramai tidak benar.

Tarsin, perwakilan nelayan, menjelaskan pagar laut dibangun oleh swadaya masyarakat dengan tujuan sebagai menambah penghasilan mereka, salah satunya budidaya kerang hijau. “Kalau menurut saya, itu kan cuma patok bambu yang sebagai tanda batas untuk perairan dangkal bagi masyarakat budidaya kerang hijau ya,” katanya di Tangerang, Minggu (12/1/2025), dipantau dari Kompas Siang KompasTV. “Kalau misalnya melaut hasil tangkapnya lagi kurang, bisa ngambil kerang hijau,” tambahnya. “Di satu sisi, bambu-bambu itu buat memecah gelombang juga sih sebenarnya, untuk mencegah terjadinya abrasi,” ujar Tarsin. Ketika ditanyai bagaimana awal pembangunannya, Tarsin mengaku tidak tahu bagaimana mulanya. “Kalau awalnya kita enggak tahu, yang jelas ya itu kan masyarakat secara sporadis aja gitu karena memang bagian dari untuk penanda (bagi nelayan),” tanggapnya. Menurutnya, keberadaan pagar bambu itu sudah terjadi bertahun-tahun dan berasal dari inisiasi warga sendiri.

Kasus pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, kini tengah ditangani secara serius oleh aparat penegak hukum. Sejak awal 2025, penyidik dari Bareskrim Polri mengusut dugaan pemalsuan dokumen sertifikat Hak Guna Bangunan dan Hak Milik yang terkait dengan pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer tersebut. Kepala Desa Kohod beserta beberapa stafnya sudah ditetapkan sebagai tersangka atas keterlibatan mereka dalam proyek ilegal ini. Pada Maret 2025, berkas perkara telah dilimpahkan ke kejaksaan untuk proses lebih lanjut. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan sanksi administratif berupa denda yang mencapai Rp48 miliar dan melakukan pembongkaran pagar laut yang dibangun di wilayah laut yang bukan daratan, sehingga sertifikat yang diterbitkan dianggap tidak sah. Ombudsman RI juga memantau kasus ini karena dampaknya sangat merugikan para nelayan setempat, dengan kerugian diperkirakan mencapai Rp9 miliar selama lima bulan terakhir akibat akses melaut yang terhambat. Meski proses hukum sudah berjalan, masih terdapat kekhawatiran bahwa belum semua pihak yang bertanggung jawab telah diproses secara hukum, sehingga penegakan hukum yang lebih menyeluruh sangat dibutuhkan agar kasus ini dapat diselesaikan dengan adil dan tuntas.

Kasus pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang mencerminkan kompleksitas persoalan tata kelola wilayah pesisir yang sarat dengan konflik kepentingan politik, pelanggaran hukum, serta dampak serius terhadap lingkungan dan kehidupan nelayan kecil. Pagar bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer yang dibangun secara ilegal tanpa izin resmi telah menghambat akses melaut dan menurunkan pendapatan ribuan nelayan, sekaligus memicu kerusakan ekosistem laut. Meskipun pemerintah pusat telah melakukan pembongkaran, menjatuhkan sanksi administratif, dan memproses beberapa tersangka, banyak pihak menilai bahwa penegakan hukum belum menyentuh seluruh aktor utama di balik proyek ini. Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana pembangunan infrastruktur dapat disalahgunakan demi kepentingan elite lokal melalui praktik korupsi, manipulasi dokumen, dan lemahnya pengawasan.

Di sisi lain, terdapat klaim dari sebagian masyarakat bahwa pagar tersebut dibangun secara swadaya untuk keperluan budidaya dan perlindungan dari abrasi, yang mencerminkan adanya perbedaan persepsi serta urgensi akan transparansi, keadilan, dan keberpihakan kebijakan terhadap kepentingan rakyat kecil. Dalam konteks ini, perlu ditegaskan pentingnya penegakan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap hak-hak perizinan, terutama terkait penguasaan tanah dan laut, agar masyarakat tidak kembali dirugikan oleh kepentingan tersembunyi, termasuk keterlibatan PT-PT asing yang bermain di balik layar.

Kelompok 3

Anggota Kelompok:

Bayoe Satrya Perdana.

Damar Widodo.

Dyan Ardiansyah.

Abdoel Aziz Ad-daswin.

Duwik Lestari.

Marsya Adelia.

Shyahira Fatiah Asyifa.(***)